KOPDES Merah Putih: Pengganti atau Pelengkap BUMDes?

Advertisement

Di tengah jalan terjal yang dilalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), muncul wacana baru: Koperasi Desa Merah Putih (KOPDES Merah Putih).

 

Rencana pendirian KOPDES secara masif di seluruh Indonesia, dengan target mencapai 70 ribu unit, diumumkan oleh jajaran menteri setelah rapat terbatas dengan Presiden Prabowo. Inisiatif ini sontak memicu perdebatan dan pertanyaan di kalangan pengamat ekonomi desa.

 

Koperasi desa ini dijanjikan akan mengelola anggaran yang signifikan, berkisar antara 3 hingga 5 miliar rupiah per unit. Sumber pendanaan direncanakan berasal dari alokasi langsung dana desa atau melalui skema kredit yang difasilitasi oleh Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Besarnya anggaran ini tentu menjanjikan potensi perubahan besar dalam lanskap ekonomi pedesaan.

 

Lantas, bagaimana konsep KOPDES ini akan diimplementasikan di lapangan? Pertanyaan ini menjadi krusial, terutama jika menimbang nasib BUMDes yang telah bertahun-tahun dibangun dan dikembangkan oleh desa dengan susah payah.

 

Apakah KOPDES hanya akan menjadi unit usaha di bawah payung BUMDes, atau justru didesain untuk menggantikan peran BUMDes sebagai lembaga ekonomi utama di desa? Kejelasan mengenai hal ini sangat penting untuk menghindari tumpang tindih dan persaingan yang kontraproduktif.

 

Terlepas dari detail implementasi yang masih belum sepenuhnya terungkap, Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menyatakan bahwa KOPDES Merah Putih akan menjadi pusat kegiatan ekonomi desa. Peran utamanya adalah sebagai tempat penyimpanan dan penyaluran hasil pertanian masyarakat. Dengan demikian, KOPDES diharapkan dapat memangkas rantai distribusi yang selama ini merugikan petani dan konsumen.

 

Sementara itu, Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi, menjelaskan bahwa pengembangan KOPDES Merah Putih akan dilakukan melalui tiga pendekatan utama. Ia juga menambahkan bahwa terdapat sekitar 64 ribu kelompok tani yang siap beralih menjadi koperasi, sehingga berpotensi mengintegrasikan sistem pertanian dan distribusi pangan di tingkat desa secara lebih efisien.

 

Di sisi lain, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto, menegaskan dukungan terhadap kebijakan ini melalui revisi Peraturan Menteri Desa (Permendes) Nomor 2 Tahun 2024 tentang fokus penggunaan dana desa tahun 2025. Yandri menekankan bahwa tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk memperkuat fondasi ekonomi desa dan memastikan pembangunan yang berkelanjutan.

 

“Fokusnya kepada Koperasi Desa Merah Putih, ujungnya sama semangatnya, bagaimana suasana pangan, bagaimana yang lain-lain. Inti pokoknya desa semua maju, desa semua berkembang dengan baik. Kita akan bangun desa, bangun Indonesia,” pungkas Yandri Susanto.

 

Ambisi membangun desa melalui KOPDES Merah Putih adalah cita-cita yang mulia. Namun, keberhasilannya akan sangat bergantung pada beberapa faktor kunci. Pertama, koordinasi yang efektif dan kejelasan peran antara KOPDES dan BUMDes sangat penting untuk menghindari konflik dan memastikan sinergi.

 

Kedua, pengelolaan anggaran yang transparan dan akuntabel akan menjadi kunci untuk mencegah praktik korupsi dan memastikan bahwa dana benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat desa.

 

Ketiga, partisipasi aktif dari masyarakat desa dalam perencanaan dan pengelolaan KOPDES akan meningkatkan rasa memiliki dan memastikan bahwa program ini sesuai dengan kebutuhan lokal. Hanya dengan mengatasi tantangan-tantangan ini, KOPDES Merah Putih dapat menjadi mesin penggerak ekonomi desa yang berkelanjutan dan inklusif.

Advertisement