Ketidakadilan dalam Sertifikasi Pendamping Desa

Advertisement

Sejak 2016, saya mengabdikan diri sebagai pendamping desa. Saya telah menyaksikan berbagai dinamika pembangunan desa, berdampingan dengan masyarakat, dan berusaha memberi kontribusi terbaik. Namun, ada satu hal yang masih menggantung hingga kini: sertifikasi.

 

Bukan karena saya tidak siap atau tidak kompeten, melainkan karena sistem yang tidak memberi ruang bagi mereka yang tidak tergabung dalam kelompok tertentu. Saya telah lama mempersiapkan berkas sertifikasi, yakin bahwa semua persyaratan terpenuhi dan saya mampu mengikuti tes.

 

Namun, kenyataan berbicara lain. Prioritas selalu diberikan kepada “gerbong tertentu.” Sampai kelompok itu selesai tersertifikasi, kami yang berada di luar sistem ini hanya bisa menunggu tanpa kepastian. Ini bukan hanya cerita saya, tapi juga cerita banyak pendamping lokal desa (PLD) lainnya yang telah lama mengabdi, namun tetap berada di pinggiran.

 

Sertifikasi seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan kualitas pendampingan, bukan justru menjadi alat diskriminasi. Padahal, jika dilihat dari pengalaman di lapangan, banyak dari kami yang sudah memiliki kapasitas dan kompetensi yang tidak kalah dibanding mereka yang telah tersertifikasi.

 

Namun, sistem ini seakan mengunci kami dalam ketidakpastian, hanya karena kami tidak memiliki akses ke jalur yang sama dengan mereka yang berada dalam kelompok tertentu.

 

 

Isu PHK dan Kekhawatiran Pendamping Desa

 

 

Belakangan, muncul isu bahwa pendamping desa yang belum bersertifikasi akan di-PHK. Kabar ini tentu saja membuat banyak pendamping lokal desa cemas, termasuk saya.

 

Kami yang sudah bertahun-tahun mengabdikan diri di desa, membangun sistem, membantu masyarakat, tiba-tiba dihadapkan pada ancaman kehilangan pekerjaan hanya karena belum memiliki sertifikasi yang sulit kami akses.

 

Namun, saya meyakini bahwa Menteri Desa saat ini, Pak Yandri Susanto, tidak akan mengambil langkah yang merugikan kami begitu saja.

 

Beliau tentu memahami bahwa banyak pendamping desa yang belum bersertifikasi bukan karena kurangnya kompetensi, tetapi karena sistem yang tidak berpihak kepada semua.

 

Sertifikasi pendamping desa seolah-olah hanya diperuntukkan bagi mereka yang tergabung dalam kelompok tertentu, dengan biaya yang cukup mahal bagi kami yang terpinggirkan untuk bisa ikut serta.

 

Padahal, jika pemerintah benar-benar ingin meningkatkan kualitas pendampingan di desa, seharusnya mereka membuka kesempatan yang adil bagi semua, bukan hanya bagi segelintir orang yang memiliki akses lebih mudah.

 

Kekhawatiran akan pemutusan hubungan kerja ini bukan hanya persoalan pribadi, tetapi juga menyangkut keberlanjutan program-program desa yang telah kami bangun selama bertahun-tahun.

 

Jika pendamping desa yang telah lama mengabdi harus dikeluarkan hanya karena alasan administratif tanpa mempertimbangkan kontribusi dan pengalaman mereka, maka program pembangunan desa bisa mengalami kemunduran.

 

Harapan untuk Sistem yang Lebih Adil

 

 

Meskipun situasi saat ini penuh ketidakpastian, saya tetap memiliki harapan. Saya berharap bahwa sertifikasi pendamping desa bisa menjadi sistem yang benar-benar inklusif dan adil.

 

Tidak boleh ada diskriminasi berdasarkan kelompok atau afiliasi tertentu. Jika seseorang kompeten dan telah membuktikan dedikasinya di lapangan, maka ia seharusnya diberi kesempatan yang sama untuk mendapatkan sertifikasi tanpa hambatan yang tidak perlu.

 

Selain itu, saya juga berharap bahwa isu PHK bagi pendamping desa yang belum bersertifikasi tidak benar-benar terjadi. Menteri Desa yang sekarang memiliki rekam jejak yang cukup baik dalam mengedepankan profesionalisme.

 

Saya percaya bahwa beliau memahami betapa pentingnya peran kami dalam mendukung pembangunan desa. Pemecatan massal tanpa pertimbangan yang matang bukanlah solusi yang bijak.

 

Sebaliknya, pemerintah seharusnya memberikan akses yang lebih luas bagi pendamping desa untuk mendapatkan sertifikasi secara adil dan transparan.

 

Jika desa adalah jantung negeri ini, maka pendamping desa adalah nadinya. Kami bekerja bukan untuk gelar, bukan sekadar mencari status sertifikasi, tetapi untuk memastikan desa-desa tetap berkembang dan berdaya.

 

Karena itu, saya masih berharap bahwa mereka yang memegang kebijakan tidak akan melupakan nilai utama dari pengabdian: keikhlasan untuk membangun, bukan sekadar memenuhi syarat administratif.

 

Ke depan, harapan saya adalah adanya sistem yang lebih baik, lebih transparan, dan lebih inklusif. Pendamping desa seharusnya diperlakukan sebagai mitra pembangunan, bukan sekadar tenaga kerja yang sewaktu-waktu bisa diberhentikan karena regulasi yang tidak berpihak.

 

Kami ingin terus berkontribusi, ingin terus menjadi bagian dari pembangunan desa, tanpa harus dihantui oleh ketidakadilan sistem yang ada.