Salah Kaprah Pelaksanaan Undang-Undang Desa
Tidak ada alasan bagi saya untuk tidak setuju dengan apa yang sudah dijelaskan Dr. Sutoro Eko terkait 10 salah kaprah pelaksanaan Undang-Undang Desa.
Sebagai pelaku pemberdayaan masyarakat Desa, yang juga sekaligus sebagai penulis. Tentu saya tidak bisa menafsirkan segala sesuatu itu, hanya dari satu sisi.
Baik menurut pemerintah Desa, bukan berarti baik menurut masyarakat. Begitu pula sebaliknya. Baik menurut masyarakat, belum tentu juga, akan dapat direalisasikan oleh pemerintah Desa.
Hal ini karena, banyaknya aturan turunan (PP/Permen/Perda) yang diterbitkan oleh pemerintah, yang malah justru menghambat proses pengimplementasian Undang-Undang Desa sesuai apa yang sudah diatur.
Mau melaksanakan yang ini tidak boleh. Mau membangun yang itu pun tidak boleh.
Padahal, bila berkaca pada aturan, dalam hal ini ialah Undang-Undang Desa. Disitu dikatakan, bahwa dana Desa itu boleh dipergunakan selama itu di musyawarahkan dan menjadi kebutuhan setiap warga yang ada di Desa itu.
Tapi kenyataan sekarang, kita tahu sendiri kan ?
Bukan hanya prioritas penggunaannya saja yang diatur. Bahkan, mereka pun sudah menetapkan angka minimal persentase (%) dalam kegiatan yang perlu dianggarkan tersebut.
Lebih-lebih. Bila pemerintah Desa tidak menurut. Maka landasan hukum yang menjadi dalih pemotongan dana Desa pun sudah dipersiapkan. Sebagai senjata paling mujarab untuk dapat mengintervensi penganggaran yang ada di Desa.
Salahkah pemerintah dengan mempersiapkan segala aturan ini ?
Dari kacamata pemerintah tentu tidak ada yang salah.
Pemerintah hanya ingin melihat Desa-desa yang ada di Indonesia itu maju dan mandiri. Sehingga perlu dipersiapkan langkah-langkah strategis untuk dapat mewujudkan hal itu. Sehingganya lagi, dana Desa yang selama ini sudah dikucurkan oleh pemerintah, dapat dinikmati seluruh warga Desa dan bukan hanya segelintir elit Desa.
Namun, apakah hal ini telah sesuai dengan semangat lahirnya Undang-Undang Desa ?
Belum tentu.
Mengutip dari penjelasan Dr. Sutoro Eko yang juga merupakan pakar Desa sekaligus orang yang ikut didalam merumuskan lahirnya Undang-Undang Desa.
Beliau menyampaikan, pada point salah kaprah pelaksanaan Undang-Undang Desa yang keempat dan kelima.
Dalam penjelasannya, ia menyebut, Negara yang seharusnya membina, mengakui, serta mempercayai Desa dalam mengurus rumah tangganya sendiri atas dasar hak asal usul, adat istiadat dan/atau prakarsa masyarakat.
Justru, Negara malah terkesan mengawasi, mengendalikan, dan mengatur dengan birokratisasi dan regulasi.
Belum lagi banyak Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang saling berbenturan, dan juga Desa yang tidak diurus oleh satu Kementerian atau satu pintu.
“Kemendagri suka pada pemerintah Desa, Kemendes suka pada pembangunan Desa, BAPPENAS suka pada pembangunan pedesaan, Kemenkeu suka pada program penanggulangan kemiskinan di Desa, dan juga Kementerian sektoral lebih suka pada masyarakat Desa ketimbang Desa”, nilainya.
Nah, bila hal semacam ini tetap berlanjut, tanpa adanya perubahan.
Maka benarlah pemikiran orang-orang yang mengatakan, bahwa sesunguhnya dana Desa itu bukanlah penerimaan yang syah untuk Desa. Yang penggunaanya didasarkan atas kewenangan Desa. Melainkan, dana Desa itu hanyalah uang titipan yang menunggu prioritas baru bisa dipergunakan.