Ketidakjelasan Status Pendamping Desa : Mau Dibawa ke Mana Sebetulnya Arahnya?
Hampir sembilan tahun, sejak 2015 hingga 2024, ribuan pendamping desa di seluruh pelosok Indonesia bekerja dalam ketidakpastian.
Saya, seorang Pendamping Lokal Desa (PLD) yang berada di posisi paling bawah dalam struktur Tenaga Pendamping Profesional (TPP), telah melihat dan merasakan langsung betapa sulitnya menjadi ujung tombak pembangunan desa dengan status yang terus menggantung dan honorarium yang jauh dari kata layak.
Peran Berat di Ujung Tombak
Pendamping desa bukan sekadar tenaga administratif. Kami adalah penghubung utama antara pemerintah dan masyarakat desa, memastikan program pembangunan desa berjalan sesuai aturan.
Di lapangan, pekerjaan kami tidak sekadar mendampingi. Kami harus menyusuri jalan terjal penuh lubang, menyeberangi sungai dengan rakit rapuh, bahkan tak jarang bertemu tantangan sosial yang kompleks di desa. Semua dilakukan dengan satu tujuan: memajukan desa dan membangun Indonesia dari pinggiran.
Namun, tanggung jawab besar ini tidak diimbangi dengan penghargaan yang setara. Dengan honor dan operasional yang rata-rata hanya Rp 2 juta per bulan, pendamping desa sering harus mengorbankan kebutuhan pribadi demi memastikan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawaban desa berjalan sesuai peraturan.
Bandingkan dengan rekan-rekan di jenjang Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) kabupaten atau provinsi, yang bisa menerima honor dan operasional hingga Rp 12 juta per bulan. Perbedaan ini bukan hanya mencolok, tetapi juga tidak adil, mengingat beban kerja kami yang langsung bersentuhan dengan masyarakat di tingkat akar rumput.
Ketidakjelasan Status yang Menghantui
Setiap tahun, kami dihantui ketidakpastian. Kontrak kerja yang harus diperpanjang setiap tahun menjadi momok, terutama ketika politik ikut bermain.
Tidak ada jaminan bahwa pendamping desa akan terus diperpanjang kontraknya, meski telah bekerja keras dan menunjukkan hasil nyata di lapangan.
Sejak awal, kami berharap agar status pendamping desa utamanya pendamping lokal desa bisa dinaikkan menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), seperti honorer lainnya.
Namun, harapan ini selalu terbentur pada nomenklatur anggaran yang selalu saja masuk ke pos belanja barang dan jasa, bukan pos belanja pegawai. Ini seolah mempertegas bahwa kami, para pendamping desa, tidak dianggap sebagai aset manusiawi yang layak diperjuangkan.
Cerita Perjuangan di Tengah Ketidakpastian
Bukan sedikit pendamping desa yang menyerah. Jalan terjal yang kami lalui tidak hanya secara harfiah, tetapi juga secara emosional dan finansial.
Bayangkan, dengan honor yang minim, kami harus tetap menunjukkan komitmen tinggi demi desa yang lebih baik. Bahkan, ketika desa menghadapi konflik internal atau permasalahan administratif, kami yang menjadi garda terdepan, menenangkan suasana, dan mencari solusi.
Namun, perjuangan ini sering kali tak terlihat. Publik hanya melihat hasil akhirnya: infrastruktur desa yang lebih baik, laporan keuangan yang tertata, atau peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Di balik itu, ada cerita-cerita tentang pendamping desa yang terjebak hujan di jalan tanah, yang harus menyusuri sungai tanpa jembatan, dan yang kerap menjadi sasaran keluhan masyarakat ketika program pemerintah tidak berjalan sesuai harapan.
Mau Dibawa ke Mana Nasib Pendamping Desa?
Pertanyaan besar yang terus bergema adalah: ke mana arah nasib pendamping desa? Apakah kami akan terus berada dalam status yang tidak jelas ini? Apakah upaya kami hanya akan dianggap sebagai bagian dari “belanja barang dan jasa” tanpa ada penghargaan yang manusiawi?
Kami butuh perubahan. Perubahan ini tidak bisa hanya datang dari kami sebagai pendamping, tetapi harus dimulai dari kebijakan di tingkat pusat.
Menteri Desa, PDT, harus berani memperjuangkan nasib pendamping desa dengan serius, bukan sekadar memberikan janji.
Kebijakan yang jelas, jaminan kesejahteraan yang layak, serta status yang diakui secara formal adalah bentuk penghormatan minimal atas kontribusi besar yang telah kami berikan selama bertahun-tahun.
Harapan yang Tak Pernah Padam
Kami, para pendamping desa, adalah orang-orang yang bekerja dengan hati. Meski jalannya sulit, kami tetap melangkah. Meski tantangannya besar, kami tidak mundur.
Karena kami percaya, membangun desa adalah membangun Indonesia. Namun, kami juga berharap bahwa perjuangan ini mendapatkan perhatian yang layak.
Di saat pemerintah terus menggencarkan slogan “Membangun dari Pinggiran,” kami ingin memastikan bahwa slogan ini bukan sekadar retorika, tetapi juga mencerminkan penghormatan nyata kepada mereka yang bekerja di garis terdepan, menghadapi jalan rusak dan jembatan putus demi Indonesia yang lebih baik.