Perangkat Desa Harus Netral dalam Pemilu
Alih-alih mendapatkan penghasilan tambahan dan juga berharap ketika paslon terpilih menjadi bupati/ wali kota bangunan dapat lebih mudah masuk ke desanya.
Akhirnya, perangkat desa pun ikut-ikutan dalam pesta akbar pemilu atau pilkada untuk mendukung salah satu pasangan paslon.
Padahal, bila merunut pada Undang-Undang Desa tepatnya di Pasal 51 huruf (j), jelas tindakan tersebut tidak dibenarkan alias melanggar salah satu yang menjadi larangan sebagai perangkat desa.
(j). ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah.
Tapi mengapa, kondisi ini seakan-akan masih tumbuh subur dan silih berganti dari tahun ke tahun.
Alasannya pun beragam, salah duanya seperti yang saya sebutkan di paragraf pembuka tadi.
Namun, masih ada alasan lain yang menurut saya lebih komplek yang membuat perangkat desa melanggar larang tersebut.
1. Tekanan dari Paslon Independen
Tidak dapat dipungkiri memang, pada saat detik-detik pemilu atau pilkada. Oknum penjabat independen kerap kali mengumpulkan seluruh aparatur desa untuk dimintai dukungan.
Bahkan, acap kali ketika mereka dikumpulkan. Oknum paslon independen tersebut bedalih: apabila kedapatan desa yang secara terang-terangan tidak mendukung atau persentase kemenangannya minim.
Maka, pada saat oknum tersebut tepilih kembali, desa tersebut akan sulit jika meminta bangunan yang bersumber dari APBN, APBD Provinsi, atau APBD Kabupaten.
2. Ditakut-takuti akan Diperiksa
ICW pernah menyebutkan bahwa korupsi dana desa kian tahun kian meningkat jumlahnya.
Tercatat dari tahun 2015 hingga tahun 2018, jumlah korupsi dana desa mencapai 252 kasus dengan total kerugian negara mencapai Rp 107,7 miliar.
Dari 252 kasus, sebanyak 214 kasusnya berasal dari korupsi yang dilakukan oleh kepala desa selama menjabat pada periode tertentu dengan rincian : 15 kepala desa terjerat pada 2015, 61 terjerat pada 2016, 66 terjerat pada 2017, dan 89 lainnya terjerat pada 2018.
Dengan alasan itulah, terkadang oknum penjabat independen berdalih akan menerjunkan tim yang berasal dari BPKP, Inspektorat, ataupun Kejaksaan untuk memeriksa dana desa ke desa-desa.
Alhasil, kepala desa pun tidak berkutik dan mau tidak mau harus ikut serta dan terlibat langsung dalam kampanye pemilu.
3. Diberhentikan dari Perangkat Desa
Tidak hanya berlaku bagi Pilpres, Pilkada, atau Pileg. perangkat desa harus netral pada Pilkades juga.
Faktanya : penjabat yang saat ini menempati posisi perangkat desa, rata-rata kebanyakan berasal dari relasi, teman sejawat, ataupun timses dari kepala desa yang saat ini menjabat.
Penjaringan perangkat desa itu hanyalah formalitas semata. Yang apabila kita diuji secara akademik, maka banyak kecurangan yang terjadi dalam proses perekrutannya.
Jikalaupun ada, jumlah penjaringan perangkat desa yang benar-benar fair itu sangat minim sekali. Bahkan bila kita hitung, jumlahnya pun tidak akan banyak.
Pengujian kenetralan perangkat desa ini diuji pada saat kepala desa yang bersangkutan telah habis masa jabatannya dan mencalonkan kembali menjadi kepala desa.
Ada 2 hal yang sebenarnya menjadi dilema besar bagi perangkat desa yang telah menjabat pada saat acara Pilkades akan digelar.
Pertama : netral maka posisinya akan terancam jika calon yang tepilih menjadi kepala desa bukan relasinya, dan yang kedua : mendukung secara terang-salah calon independen dengan segala konsekuensinya.
Dari kedua opsi dilema diatas, faktanya perangkat desa banyak yang lebih memilih tidak netral dan mendukung salah satu calon kepala desa untuk mengamankan posisinya.
Padahal, jika merujuk pada Undang-Undang Desa. Ketiga alasan kompleks yang saya sebutkan diatas melanggar larangan kepala desa (Pasal 29 huruf j) dan juga larangan perangkat desa.