Otonomi Desa yang Terkoyak

Advertisement

Saya sangat setuju, bila selama dana desa dikucurkan mulai dari tahun 2015 itu belum semuanya efektif meningkatkan perekonomian warga desa.

 

Otonomi Desa yang Terkoyak

Perkembangan Dana Desa dari 2015 hingga 2025 (sumber Kemendes)

 

Namun, bila negara terlalu dalam ikut campur tangan dalam mengatur dan menetapkan kebijakan dana desa, serta membatasi semua apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah desa berdasarkan hasil musyawarah sebagai forum tertinggi desa. Tentu, saya kurang sependapat.

 

Dana desa itu lahir atas adanya Undang-Undang Desa (UU Desa). Dan salah satu semangat lahirnya UU Desa ialah memberikan kewenangan bagi desa untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri berdasarkan kepentingan masyarakat desa setempat yang diakui dan dihormati negara (Pasal 1 Ayat 1 UU Desa).

 

Akan tetapi, sejak merebakknya pandemi Covid-19, dan sejak UU Nomor 2 Tahun 2020 disahkan. Kewenangan desa seakan telah diperkosa karena semua kebijakan terkait pengelolaan dana desa itu diatur oleh Pemerintah Pusat.

 

Dana desa harus untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang sebetulnya sudah menjadi leading sektor Kemensos, dana desa harus buat posko Covid-19, dana desa harus buat SDGs Desa, dana desa harus buat ketahanan pangan, dan dana desa harus buat yang lain-lain. Serta isu terakhir, dana desa diwacanakan untuk membangun Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes MP) yang sebetulnya menjadi leading sektor Kemenkop.

 

Dana desa itu terlihat besar bagi masyarakat desa yang tidak memahami peruntukannya. Tapi, bagi saya yang sudah aktif di dunia pemerintah desa sejak 2011. Dana desa itu terlihat sangat kecil bila semuanya sudah dibag-bagi kedalam pos belanja desa.

 

Terlebih, bila semua kewenangan desa sudah diatur dan dibatasi seperti sekarang ini: BLT harus dianggarkan maksimal 15% dari pagu dana desa, ketahanan pangan minimal 20%, dana operasional pemerintah desa maksimal 3%, stunting, proklim, pemanfaatan teknologi informasi, padat karya, BUMDes, serta Kop Des Merah Putih yang perkiraan menelan anggaran 3 – 5 miliar per desa selama 5 tahun kedepan.

 

Artinya, sudah tidak ada pagu dana desa lagi yang bisa diperuntukan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang sifatnya urgent yang dihasilkan berdasarkan keputusan musyawarah desa setempat.

 

Meskipun ada anggarannya, jumlahnya akan sangat minim sekalian dan tentu tidak akan mencukupi untuk mengcover seluruh kegiatan-kegiatan yang dihasilkan dari keputusan musyawarah tersebut.

 

Kalau sudah begini, dimana letak rekognisi dan subsidiaritas yang selama ini di gaung-gaungkan pemerintah sebagai bagian dari semangat lahirnya UU Desa.

 

Akan lebih baik, kedepan, seluruh dana desa diatur oleh pemerintah pusat agar desa tidak disibukkan dengan hal-hal teknis yang justru akan membawa mereka ke jeruji besi bila salah dalam hal administrasi.

 

Sekarang masyarakat desa harusnya paham dan tidak perlu banyak berharap dengan adanya dana desa. 

 

Toh meskipun ada dana desa, pemerintah desa juga tidak akan mampu untuk merealisasikan seluruhan usulan masyarakat yang selama ini masuk dalam dokumen perencanaan desa. Kecuali, bila semuanya sudah dikembalikan ke semangat lahirnya Undang-Undang Desa.