Masyarakat Berhak Memilih Perangkat Desa

Sebagai kepala desa yang baik. Apapun yang hendak diputuskan dan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak perlu di musyawarahkan terlebih dahulu dengan masyarakat.

 

Hal ini pun sama perlakuannya didalam mengangkat dan memberhentikan perangkat desa, walaupun semua itu menjadi kewenangan kepala desa.

 

Sebagai masyarakat biasa, terkadang kita merasa terzolimi dan tidak puas atas kinerja sewenang-wenang yang dilakukan perangkat desa.

 

Apalagi, jika sudah menyangkut persoalan data mendata bantuan sosial.

 

Pasti banyak sekali conflict of interest yang membuat oknum perangkat desa kadang tidak netral didalam membuat keputusan.

 

Masalah pribadi, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentulah yang terkadang menjadi alasan keputusan tersebut tidak tepat sasaran.

 

Padahal jika merujuk pada Undang-Undang Desa, tepatnya Pasal 51 huruf (a) sampai dengan (d), jelas tindakan tersebut menjadi larangan perangkat desa.

 

perangkat desa dilarang

Sumber : UU Desa Pasal 51 huruf (a) hingga (d)

 

Dan apabila terbukti salah, maka oknum perangkat desa tersebut bisa dikenai sanksi administrasi berupa teguran, lisan, bahkan pemberhentian sementara hingga permanen.

 

sanksi perangkat desa

Sumber : UU Desa Pasal 52 ayat (1) dan (2)

 

Kalau sudah seperti itu, terus siapa yang salah ?

 

Apakah masyarakatnya yang salah, karena seakan-akan tidak peduli dengan hak yang miliki yang telah diatur dalam Undang-Undang Desa untuk memilih perangkat desa.

 

Ataukah malah sistem penjaringannya yang “bobrok” karena memasukan perangkat desa yang tidak memiliki kapasitas dan hanya didasarkan atas sistem keluarga, relasi, atau kedekatan dengan kepala desa asalkan mememuhi persyaratan.

 

Saya sih tidak mau berandai-andai.

 

Tetapi intinya, antara pemerintah desa (dalam hal ini kepala desa sebagai yang berwenangan mengangkat dan memberhentikan perangkat desa) dan juga masyarakat desa ( yang berhak memilih perangkat desa) saling bekerja sama.

 

Jangan sampai nanti, ketika ada yang merasa dirugikan, malah saling menyalahkan antar satu dan yang lainya.

 

Kembali ke topik utama, yaitu terkait masyarakat desa berhak memilih perangkat desa…

 

Disini saya hanya ingin menerangkan atau mengingatkan kembali, baik itu kepada pemerintah desa ataupun masyarakat desa sebagai objek yang melaksanakan aturan.

 

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tepatnya di Pasal 68 ayat (1) huruf (d) poin (2) disebutkan bahwa masyarakat desa berhak memilih, dipilih, dan/atau ditetapkan menjadi perangkat desa.

 

masyarakat desa berhak memilih perangkat desa

 

Namun, perlu diingat juga bahwa didalam memilih perangkat desa yang dimaksud, masyarakat haruslah apa yang menjadi persyaratan dari perangkat desa itu sendiri.

 

Disebutkan dalam Undang-Undang Desa, Pasal 50 ayat 1 huruf (a) sampai dengan (d). Bahwa untuk menjadi perangkat desa haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut ini.

 

persyaratan perangkat desa

 

Lalu, jika sudah terpilih, kemudian dibuatkan berita acara untuk diajukan ke kepala desa untuk ditetapkan menjadi perangkat desa berdasarkan hasil musyawarah masyarakat.

 

Perlu dicatat juga, bahwa berita acara pemilihan perangkat desa secara langsung yang diajukan oleh masyarakat ke kepala desa bukanlah bersifat final.

 

Karena apa ?

 

Karena kewenangan mengangkat dan memberhentikan perangkat desa tersebut merupakan kewenangan kepala desa setelah dikonsultasikan kepada camat.

 

Hal ini pun telah diatur dalam Undang-Undang Desa Pasal 26 ayat 2 huruf (b) yang berbunyi sebagaimana dibawah.

 

wewenang kepala desa

 

Pertanyaan selanjutanya muncul, apa perbedaan berhak dan berwenang jika dilihat dalam segi arti.

 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berhak mempunyai arti kekuasaan untuk berbuat sesuatu.

 

Sedangkan, berwenang bermakna mempunyai (mendapat) hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.

 

Jika kita contohkan secara sederhana untuk menggambarkan konteks diatas, begini :

 

Masyarakat mempunyai kuasa untuk memilih mana saja perangkat desa yang terbaik secara langsung yang diputuskan melalui musyawarah. Sedangkan untuk mengangkat, menetapkan dan memberhentikan itu menjadi hak dan kekuasaan dari kepala desa.

 

Artinya, jika saya menarik sebuah kesimpulan didasarkan atas pendapat kebanyakan masyarakat, maka kurang lebih saya yakin statementnya akan seperi ini.

 

” Tidak ada gunanya juga masyarkat memilih, toh ujung-ujungnya juga yang memutuskan dan menetapkan kepala desa”.

 

Iya, kan?

 

Makanya di pembukaan paragraf pertama tadi saya katakan ” sebagai kepala desa yang baik, hendaknya jika mau memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak perlu di musyawarahkan terlebih dahulu”.

 

Hal ini juga berkaitan dengan perangkat desa.

 

Karena apa?

 

Karena bukan hanya kepala desa saja yang akan memakai jasa perangkat desa untuk membantu tugasnya. Masyarakat pun ikut merasakan, jika perangkat desa yang dipilih oleh kepala desa tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

 

 

Referensi

 

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa