Penghapusan Dana Desa, Setuju Gak?
Semua berawal dari pandemi covid 19 yang menginfeksi salah seorang penduduk Indonesia sekitar bulan Maret-an.
Covid 19 yang awalnya disepelekan oleh Menteri Kesehatan, kini akhirnya merebak cepat hampir di seluruh kawasan negeri ini.
PSBB yang konon kabarnya bisa menekan laju penularan, dan pertama kali diterapkan di ibukota Jakarta pun tidak bisa memberikan efek yang signifikan.
Apa jadinya jika pemerintah pusat benar-benar me-lock down seluruh daerah di Indonesaia.
Apa jadinya jika pemerintah percaya bahwa lock down-lah solusi ter-topcer yang ditawarkan para pengamat.
Baca : Dana Desa Harus Beredar ke Masyarakat, bukan Dikantong Perangkat dan Kepala Desa Itu Sendiri
Kalau solusi lock down kala itu benar-benar direalisasikan oleh pemerintah.
Mungkin sekarang ini kita sudah duluan resesi, dibandingkan negara serupun kita, yaitu: singapura dan malaysia.
Untungnya kita punya Presiden dan Menteri Keuangan yang cerdas.
Yang meskipun diserang, mereka tetap kekeh, bahwa lock down bukanlah solusi terbaik untuk mengatasi isu kesehatan sekaligus menjaga ekonomi tetap jalan.
Saya sepakat, bahwa kesehatan itu yang paling utama dibandingkan harus menjaga stabilisasi perekonomian nasional.
Akan tetapi, kesehatan tanpa ditopang asupan makanan. Toh sama saja dengan membunuh secara perlahan-lahan.
Iya, kan?
Nah, berawal dari solusi yang ditawarkan pemerintah untuk mengatasi keduanya: pencegahan covid 19 sekaligus tetap menjaga stabilisasi perekonomian nasional.
Akhirnya, pemerintah menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020.
Perpu yang disahkan inilah yang menjadi pergolakan sekaligus pendebatan awal dikalangan pejuang lahirnya UU Desa.
Mereka berpendapat : penghapusan dana desa lambat laun pasti bakal terjadi.
Hal ini karena ada sebuah pasal, yaitu pasal 28 ayat 8 yang dimasukan kedalam UU No. 2 Tahun 2020 tersebut.
Pasal dan ayat inilah yang menjadi cikal bakal munculnya persepsi bakal ada penghapusan dana desa.
Dikatakan dalam pasal dan ayat tersebut, ” bahwa selama pandemi covid 19 masih ada dan untuk tetap menjaga keuangan negara nasional stabil, maka pasal 72 ayat 2 yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tidak berlaku,”.
Jika kita coba untuk menelisik lebih jauh, isi kandungan pasal 72 ayat 2 yang ada dalam UU Desa, disitu disebutkan : bahwasannya dana desa itu merupakan salah satu sumber pendapatan transfer desa.
Baca juga : Arah Kebijakan Transfer ke Daerah dan Dana Desa 2021
Itu artinya, kalau covid 19 tidak dapat diatasi dalam waktu segera, serta kondisi keuangan negara oleng. Maka bisa dipastikan, kita tidak akan menemukan dana desa dalam struktur pendapatan transfer dalam APBDes.
2021, saya kira masih aman. Karena, Menteri Keuangan pernah menegaskan, bahwa dana desa masih tetap ada dengan penggunaan yang makin luas dan penyalurannya secara langsung ke kas desa.
Tapi, untuk 2022, saya tidak tahu. Karena kan, semua itu tergantung dari penanganan covid 19 dan kondisi keuangan negera yang stabil.
Toh apabila kondisi negara memburuk (kita tidak berharap), dan dana desa tidak dianggarkan lagi. Maka kita pun tidak bisa menuntutnya.
Karena apa? Ya kembali lagi, ke pasal dan ayat yang sudah disahkan diatas.
Kalau Benar Dana Desa akan Dihapus, Setuju Tidak?
Ada 2 pendapat yang berbeda dari masyarakat, ketika saya menanyakan persoalan ini.
Pendapat pertama : Setuju, jika dana desa ditiadakan.
Hal ini karena, dana desa dianggap minim pengawasan, minim audit, dan belum memberikan manfaat secara nyata ke masyarakat.
“Dana desa hanya jadi ladang korupsi baru di desa. Sebagaian oknum kepala desa menggangap itu uang pribadi dan membelajakan sesuai keinginan mereka.
Mohon, wacana pengahapusan dana desa benar-benar bisa direalisasikan Bu Menkeu,” ujar mereka
Kemudian, pendapat selanjutanya : tidak setuju.
Karena dirasa, dana desa masih dibutuhkan untuk menopang keberlangsungan pembangunan dan pemberdayaan, serta untuk menjaga nilai adat istiadat yang ada.
“Pro kontra itu wajar demi berlangsungya iklim politik yang seimbang.
Kalau memang dana desa tidak memberikan efek yang signifikan dan banyak di korupsi oleh oknum kepala desa.
Ya monggo, silahkan dilaporkan. Toh, kan sudah ada lembaga yang mengaudit dan mengawasi.
Jadi jangan pukul rata donk, men-spekulasi-kan, kalau dana desa itu tidak memberikan manfaat.
Coba dilihat dan diamati keseluruhan desa-desa di Indonesia. Jangan hanya mengambil contoh di desa anda saja,” jawab mereka.
Terlepas pro kontra setuju atau tidak setuju penghapusan dana desa.
Saya sih tidak ingin berkomentar lebih jauh.
Intinya, sebagai warga negara yang baik, ialah yang taat aturan. Dan perlu saya ingatkan kembali.
Untuk aturan terkait “akan” dan “tidaknya” dana desa ditransfer ke desa-desa.
Saat ini tidak tergantung pada UU Desa lagi, melainkan tergantung pada UU No. 2 Tahun 2020 dan Permenkeu yang diterbitkan Kemenkeu.
Baca juga : BUM Desa adalah Masa Depan bukan Tempatnya Pengalihan